diposting oleh Erica Puspa Ningrum
J1C111208
REKLAMASI
Reklamasi
dewasa ini dinilai dan mendapatkan respon dan menjadi dorongan, tanggapan yang
positif terhadap keadaan ekosistem yang lebih baru. Ekosistem yang menjadi terdegradasi
melalui dampak penggunaan sumber daya yang ada di dalamnya melalui beberapa
kombinasi. Termasuk hilangnya tanah dan polusi air, habitat, fragmentasi,
pengalihan fungsi air, pencegahan kebakaran, dan pengenalan spesies yang baru
ditemukan. Dalam system pertanian dan lahan peternakan, tantangan dalam bidang
mereklamasi ekosistem adalah untuk mengenmbalikan ekositem tersebut kedalam
keadaan yang siap tersedia sebagai sumber daya yang produktif dan memberikan
banyak keuntungan serta pelayanan terhadap pangan yang akan diterima oleh
manusia. Pada kasus lain, tujuan utama dalam melakukan reklamasi adalah untuk
mengembalikan komposisi, struktur, proses, dan dinamika yang alami yang ada
pada alam ( Christensens et al, 1996).
Kemajuan
dalam bidang restorasi itu sendiri melibatkan adanya mengidentifikasi hambatan
dengan perantaraan buatan yang sering menggunakan atau meniru proses alami dan
kontrol interaktif. Perantaraan dapat diterapkan untuk setiap komponen
ekosistem, tetapi pada hidrologi dan tanah, serta komunitas tanaman
berkarakteristik umumnya terfokus terhadap usaha yang dilakukan saja (Dobson et
al, 1997).Bahan organik penyusun tanah hilang dan rendah adalah masalah umum
dalam sistem pertanian dan padang rumput dalam mereklamasi limbah tambang.
Pupuk dan beberapa tanaman pengikat nitrogen dapat mengembalikan unsur hara
dari input organik (Bradshaw,1983).
Pengertian
umum reklamasi banyak dikemukakan oleh para ahli, Chapman (1982, dalam Asballah
2003:10) bahwa pada umumnya reklamasi sebagai proses untuk membuat lahan agar
cocok untuk pemanfaatan tertentu. Bila dilihat dari penggunaan lahan kota yang
sudah sangat mendesak, tindakan ini positif lebih strategis bila kawasan
tersebut telah, sedang atau akan dikembangkan untuk menunjang ekonomi kota atau
daerah.
Menurut Morgan (1979), Primack (1993) dan Setiadi (1996), untuk mencegah dan mengurangi terganggunya peranan fungsi jasa
bio-hidrologis tetumbuhan akibat aktivitas yang menyebabkan gangguan habitat dan ekosistemnya
termasuk kegiatan penambangan,tindakan restorasi
ekologi pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk tindakan yang dinilai
strategis sebagai upaya pemulihan. Suprijatna (1997), menyatakan bahwa
restorasi merupakan bentuk dari manajemen konservasi, sebagai upaya
pengembalian habitat tertentu atau ekosistem, ke suatu kondisi semirip mungkin dengan keadaan sebelum terjadi
degradasi.
Di
satu pihak, pemerintah kota sering memandang reklamasi pantai sebagai
satu-satunya jalan untuk mengembangkan sumberdaya lahan bagi pemenuhan
kebutuhan ekonomi dan industri khususnya dalam konteks pertumbuhan kota. Di pihak
lain muncul suatu kekuatiran baik dari sudut pandang lingkungan misalnya bahaya
banjir, polusi, dan sampah dari sudut pandang hidrologi misalnya penurunan
kualitas air tanah.
Wilayah kepesisiran
atau kawasan kepesisiran dan ada
yang menyebutkan sebagai daerah
pesisir merupakan padanan dari
istilah coastal area.
Sunarto 2001:85) memberikan
batasan sebagai daerah yang membentang dari minakat
gelombang pecah (breaker zone) di laut hingga mencapai batas akhir
dataran alluvial pesisir (coastal
alluvial plain) di darat. Pada suatu daerah perairan/pesisir pantai atau daerah rawa.
Hal ini umumya dilatarbelakangi oleh semakin tingginya tingkat populasi
manusia, khususnya di kawasan pesisir, yang menyebabkan lahan untuk pembangunan
semakin sempit. Pertumbuhan penduduk dengan segala aktivitasnya tidak bisa
dilepaskan dengan masalah kebutuhan lahan. Pembangunan yang ditujukan untuk
menyejahterakan rakyat yang lapar lahan telah mengantar pada perluasan wilayah
yang tak terbantahkan.
Aplikasi Kehutanan
di posting oleh Rezky Rahmayanti/J1C111043 -- Selasa, 02 Oktober 2012
Penerapan
Pengetahuan Ekologi Ekosistem Dalam Bidang Kehutanan
Tantangan untuk pengelolaan kehutanan yang berkelanjutan adalah mendefinisikan atribut ekosistem hutan yang secara ekologis dan sosial sangat penting dan untuk memaksimalkan layanan
ekosistem ini dalam menghadapi perubahan. Manajemen berkelanjutan produksi
kayu adalah salah satu dari banyak kemungkinan tujuan
untuk pengelolaan ekosistem hutan dan
memberikan contoh yang baik tentang perlunya ekosistem
ekologi dalam manajemen. Beberapa masalah
yang ditangani oleh kehutanan yang berkelanjutan. Tingkat pasokan gizi, misalnya, harus mencukupi untuk mendukung pertumbuhan yang cepat namun tidak begitu
tinggi bahwa mereka menyebabkan kehilangan unsur hara
yang besar. Tingkat di mana berdiri dipanen harus
seimbang dengan tingkat mereka dari
regenerasi setelah penebangan. Spesies khas alam keanekaragaman hutan harus dijaga.
Ukuran dan susunan yang masuk harus memberikan mosaik lanskap seminatural dengan
sumber benih diandalkan dan pola hutan
tepi yang memungkinkan penggunaan alami dan bergerak menjadi populasi hewan. Mengatasi masalah ini
membutuhkan perhatian dan pengelolaan kontrol
interaktif, ada terdapat gangguan , jenis tanaman fungsional, dan sumber daya tanah sangat penting. Di utara barat Amerika Serikat,
misalnya, lama pertumbuhan Douglas cemara hutan mencapai
usia lebih dari 500 tahun (Wills dan Stuart 1994). Panas
dan angin yang menghampiri pohon
individu
tersebut mengalami gangguan, menciptakan mosaik pohon pada beberapa skala usia
yang lama. Gangguan yang masuk sekarang ini yang paling luasnya adalah di
wilayah ini. Gangguan yang masuk dari alam berbeda-beda. Rezim dengan mempengaruhi wilayah yang lebih
luas, terjadi lebih sering, menghilangkan
nitrogen terikat dalam biomassa, dan meningkatkan
kemungkinan tanah erosi. Pada beberapa situs, penanaman nitrogen memperbaiki dalam
hubungan dengan regenerasi. Douglas cemara dapat mengkompensasi kerugian
nitrogen selama penebangan (Binkley et al. 1992) dan bias juga mengurangi erosi. Di sisi lain, pengelolaan ini
bisa tidak diinginkan efek dalam situs kaya
nitrogen, di mana nitrogen tidak membatasi, dan
persaingan dari alder selama suksesi awal bisa mengurangi produktivitas bibit pohon dan berpotensi menyebabkan kerugian nutrisi yang lebih tinggi. Strategi untuk pengelolaan hutan yang merangkul ekologi prinsip-prinsip akan
mengenali variabilitas yang melekat dalam ekosistem
negara faktor dan kontrol interaktif dan
akan memilih praktik manajemen dalam arti luas konteks lingkungan.
Hutan merupakan salah satu sumberdaya yang bersifat
dapat dipulihkan (renewable atau funding resource). Oleh karena itu
pengelolaannya harus berdasarkan pada prinsip-prinsip sustainable (sustainable
– based principle) dari semua manfaat yang bisa diperoleh dari hutan sebagai sumberdaya
sekaligus sebagai ekosistem. Berhubung di alam ini antara ekosistem yang satu
berinteraksi dengan ekosistem yang lain, maka konteks pengelolaan hutan harus
berdasarkan pada anggapan bahwa hutan merupakan salah satu bagian integral dari
ekosistem yang lebih besar dimana hutan tersebut berada, yaitu suatu Daerah
Aliran Sungai (DAS) sebagai satu kesatuan bentang darat. Dalam rangka mencapai
azas kelestarian (sustainable), laju ekstraksi sumbedaya hutan tidak boleh
melebihi laju daya pemulihan dari ekosistem hutan tersebut. Dalam konteks
penebangan kayu, besar volume kayu yang ditebang tidak boleh melebihi riap
volume tegakan hutan, sedangkan dalam konteks pemanfaatan secara umum,
pemanfaatan hutan sebagai ekosistem tidak boleh melebihi daya dukung maksimum
dari ekosistem tersebut. Secara ideal, derajat pemanfaatan hutan harus
diupayakan pada tingkat daya dukung optimalnya atau paling tinggi berada pada
kisaran nilai antara daya dukung optimal dengan daya dukung maksimumnya. Hal
ini dimaksudkan agar pemanfaatan hutan tidak menimbulkan derajat gangguan
lingkungan yang melebihi daya asimilatif dari ekosistem hutan tersebut. Hutan
dapat menghasilkan berbagai macam barang (kayu dan hasil hutan bukan kayu) dan
jasa lingkungan (air, oksigen, keindahan alam, penyerap berbagai polutan, dan
lain-lain), sehingga hutan bersifat multimanfaat. Sehubungan dengan ini
pengelolaan hutan seyogyanya tidak boleh memaksimumkan perolehan dari satu
macam manfaat saja (misal kayu) dengan mengorbankan manfaat-manfaat lainnya, karena
berbagai macam manfaat hutan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Hutan
dapat secara berkelanjutan memberikan manfaatnya bila proses ekologis internal
dalam ekosistem hutan tersebut tidak terganggu atau terganggu tetapi tidak
menimbulkan stress ekologis yang bersifat irreversible. Oleh karenanya,
ekosistem hutan harus dibuat tahan terhadap gangguan dengan cara mempertahankan
keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan yang tetap tinggi. Dengan demikian,
pengelolaan hutan harus dilakukan secara tepat agar ragam dan derajat
pemanfaatan hutan, yang tidak lain adalah berupa “tindakan gangguan” terhadap
hutan, harus dilakukan sedemikian rupa agar tidak melampaui daya recovery dari
ekosistem hutan yang bersangkutan sebagai respons terhadap gangguan tersebut.
Ovington (1974) melaporkan bahwa lebih kurang setengah
dari seluruh luas hutan didunia (1.800 juta hektar) terletak dikawasan tropika.
Dari seluruh kawasan hutan di daerah tropika kira-kira seperempatnya (400 juta
hektar) terletak diwilayah Asia-Pasifik. Hampir seluruh hutan yang terdapat di
kawasan Asia-Pasifik adalah hutan alam, artinya, hutan yang tidak ditanam. Oleh
karena itu, eksploitasi hutan untuk keperluan perdagangan mula-mula terhalang
oleh kesukaran menempuh hutan tropika dan pengetahuan yang masih terbatas
mengenai kekayaan hutan tropika. Tetapi setelah pengetahuan serta kebutuhan
kayu meningkat, produksi kayu per hektar di kawasan Asia-Pasifik meningkat pula
dengan sangat pesatnya. Volume kayu yang ditebang dari kawasan ini semakin hari
semakin besar, bahkan sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan masa depan
wilayah bekas hutannya. Belum lagi ditambah oleh suatu kenyataan umum, bahwa
kalau kita memerlukan wilayah baru untuk pemukiman atau pertanian, wilayah
hutan pulalah yang harus menjadi korban. Terlebih-lebih dinegara yang padat
penduduknya seperti di negara kita ini, masa depan wilayah hutan itu memang
jelas dapat diramalkan. Hutan akan semakin habis, kecuali kalau ada usaha untuk
melakukannya. Maka dari itu, pelestarian atau pengawetan hutan dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Memperbaiki klasifikasi lahan hutan melalui klasifikasi ulang
beberapa daerah seperti hutan lindung, dengan tujuan untuk menetapkan kawasan
lindung yang mewakili semua jenis habitat di Indonesia dan melindungi daerah
unik yang kerusakannya relatif rendah, sedemikian rupa sehingga regenerasi
alami dapat berlangsung.
2. Melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan merupakan proses
mengelola lahan hutan permanen untuk mencapai satu atau beberapa tujuan, yang
dikaitkan dengan produksi hasil dan jasa hutan secara terus menerus dengan
mengurangi dampak lingkungan fisik dan sosial yang tidak diinginkan.Pengelolaan
hutan berkelanjutan sebagai bentuk pengelolaan hutan yang memiliki sifat ‘hasil
yang lestari’, ditunjukkan oleh terjaminnya keberlangsungan fungsi produksi
hutan, fungsi ekologis hutan dan fungsi sosial-ekonomi-budaya hutan bagi
masyarakat lokal. Keuntungan dari pengelolaan hutan berkelanjutan adalah :
a. Hasil yang terus mengalir dan berkelanjutan dalam bentuk kayu dan
hasil serta hasil hutan lainnya.
b. Mempertahankan keanekaragaman hayati yang tinggi dalam konteks
perencanaan tata guna lahan terpadu yan meliputi jaringan kawasan lindung dan
kawasan konservasi.
c. Mempertahankan ekosistem hutan yang stabil
Mengadakan reboisasi
Reboisasi bertujuan untuk menghutankan kembali kawasan
hutan kritis di wilayah daerah aliran sungai (DAS) yang dilaksanakan bersama
masyarakat secara partisipatif.Kegiatan utamanya adalah penanaman kawasan hutan
dengan tanaman hutan dan tanaman kehidupan yang bermanfaat yang dilaksanakan
secara partisipatif oleh masyarakat setempat. Penanaman ini bertujuan untuk
meningkatkan tingkat penutupan lahan yang optimal sekaligus memberi manfaat
bagi masyarakat setempat sehingga tercipta keharmonisan antara hutan dan
masyarakat. Dengan reboisasi dan penghijauan lahan, laju evapotranspirasi
dan air simpanan meningkat. Reboisasi dan penghijuan yang berhasil akan
menurunkan aliran air permukaan tetapi sekaligus meningkatkan air simpanan
dalam tanah. Namun kenyataan yang ada rebosisasi dan penghijauan seringkali
tidak hanya menurunkan aliran air tetapi juga mengurangi air simpanan, karena
adanya evapotranspirasi dan intersepsi oleh tajuk hutan. Apabila reboisasi dan
penghijauan yang hanya menanam pohon yang tinggi tanpa memperhatikan adanya
tumbuhan bawah dan serasah justru akan menaikkan erosi. Berdasarkan hal
tersebut maka dalam penghijauan dan reboisasi sebaiknya memperhatikan pohon yang dipilih
mempunyai ujung penetes yang sempit
dan ada tumbuhan bawah dan serasah, tumbuhan bawah
dapat berupa rumput.
Rehabilitasi lahan kritis
Penetapan lahan kritis ini mengacu pada definisi lahan
kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga
kehilangan atua berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi. Sasaran
rehabilitasi adalah lahan-lahan kritis di kawasan hutan. Rehabilitasi
lahan adalah usaha memperbaiki ,memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi
lahan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal. Baik sebagai unsur
produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam dan
lingkungannya. Konservasi lahan adalah pengelolaan lahan yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Nama : Ana Fatmasari
NIM : J1C111203
RESTORASI
Ekosistem restorasi adalah kegiatan yang mendorong ekosistem ke keadaan baru
yang lebih diinginkan. Banyak ekosistem
menjadi terdegradasi melalui kombinasi dampak manusia, termasuk hilangnya tanah,
udara
dan polusi
air, fragmentasi habitat, pengalihan air, pencegah kebakaran, dan pengenalan spesies eksotik. Dalam sistem pertanian terdegradasi
dan lahan penggembalaan, tantangannya adalah untuk mengembalikan
mereka ke keadaan cukup produktif untuk menyediakan barang dan jasa bagi manusia. Dalam kasus lain, tujuannya
adalah untuk mengembalikan komposisi
alami, struktur, proses,
dan dinamika ekosistem asli (Christensen et al.
1996). Kemajuan dalam praktik restorasi melibatkan
mengidentifikasi hambatan untuk pemulihan struktur dan fungsi ekosistem dan mengatasi kendala tersebut dengan intervensi buatan yang sering
menggunakan atau meniru proses
alami dan kontrol interaktif. Intervensi dapat
diterapkan untuk setiap komponen ekosistem,
tetapi hidrologi dan tanah dan tanaman karakteristik masyarakat umumnya fokus
usaha (Dobson et
al. 1997).
Rendahnya materi
organik pada tanah membuat kerugian atau kurangnya kesuburan tanah adalah masalah umum dalam sistem pertanian dan padang rumput sangat dikelola dan di padang rumput forestsor membangun kembali pada limbah tambang. Pupuk
dan nitrogen-fixing pohon dapat mengembalikan
unsur hara tanah dan input
organik (Bradshaw 1983). Pengolahan Mengurangi
sering memperlambat atau menghilangkan kerugian SOM.
Setelah karakteristik tanah sesuai, jenis tumbuhan dapat
diperkenalkan kembali oleh pembibitan,
penanaman, atau imigrasi alami
(Dobson et al
1997.). Dasar ilmiah
untuk ekologi restorasi aktif mengembangkan. Pertanyaan yang tersisa termasuk langkah-langkah
yang diperlukan untuk mendapatkan
kembali berbagai spesies di situs dipulihkan, pentingnya
komposisi awal spesies
dalam menentukan jangka panjang karakteristik, dan pentingnya organisme tanah dalam pemulihan ekosistem.
1.
FOREST LANDSCAPE RESTORATION (FLR)
Restorasi
selain berupaya mengembalikan hutan menyerupai kondisi sebelumnya juga
bertujuan untuk mengembalikan bentuk landscape mendekati bentuk landscape sebelumnya. Kegiatan ini lebih dikenal dengan sebutan
Forest Landscape Restoration (FLR).
2.
KONSEP RESTORASI
Dalam
FLR pun, agar restorasi yang dilakukan dapat berkelanjutan (sustaine) maka
diperlukan konsep restorasi yaitu :
1.
Biodiversity
2.
Strata tajuk
3.
Siklus hara tertutup
4.
Evergreen
5.
Sepertiga nutrisi dikembalikan pada
lingkungan
Paling
tidak kembalinya biodiversity, terciptanya strata tajuk, dan terjadinya siklus
hara tertutup dapat dipenuhi untuk menyatakan bahwa kegiatan resorasi
berhasil. Penyedian hara (makanan)
memerlukan mikroba untuk membentuk enzim.
Pencapaian
strata tajuk yang mendekati kondisi semula sudah harus direncanakan saat
menentukan dan memilih jenis-jenis yang bersifat “katalitik spesies”. Jenis
ini juga merupakan “katalitik pioneer” yaitu suatu jenis tanaman yang jika ditanam
akan menciptakan kondisi yang positip yang memungkinkan masuknya jenis-jenis
lain secara alami sehingga terbentuk beberapa strata dan keanekaragaman hayati
meningkat.
3.
TAHAPAN RESTORASI
Terdapat beberapa tahapan yang harus
dilakukan untuk melakukan suatu kegiatan restorasi Tahapan ini
harus dipahami dan dicermati sehingga kegiatan restorasi dapat
terlaksana sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu kembalinya fungsi
kawasan yang menyerupai seperti semula sesuai.
Tahapan
kegiatan restorasi yang harus dilakukan adalah :
- Legal aspek pelaksanaan
Mengetahui legalitas dan
lokasi/kawasan yang akan direstorasi.
Hal ini diperlukan untuk kemudahan akses pelaku restorasi menuju lokasi
serta pelaku restorasi mempunyai gambaran letak kawasan yang akan direstorasi
terutama terkait dengan aksesibilitas.
- Karakterisasi lahan
- Biofisik
Kondisi
biofisik diantaranya adalah tanahnya yang kompak kompak, terdiri dari tanah
liat sehingga akar sulit berkembang.
Tanah yang demikian juga menyebabkan air tergenang yang dapat melayukan
akar, sehingga tanaman mati. Cara
mengatasi kondisi ini adalah dengan menggunakan teknologi riping yaitu menggemburkan tanah menggunakan alat
berat beko sehingga tanah menjadi remah.
Pembuatan drainase juga penting untuk menghilangkan genanangan air.
Secara kimiawi tanah kompak ini dapat
digemburkan dengan menggunakan “humid acid” atau nama dagangnya “terrabric”.
- Sosial ekonomi masyarakat
- Temperatur permukaan
Masalah
temperature umumnya muncul ketika menghadapi bekas tailing dan surpentin. Akibat dari kondisi adalah akar tanaman layu,
tidak bisa berkembang. Oleh karenanya
perlu penambahan bahan organic dari luar.
- Kimiawi
Beberapa
sifat kimia tanah lahan bekas tambang yang harus dibenahi antara lain :
1.
pH
Ketersediaan hara sangat
diperngaruhi oleh ukuran pH tanah.
Unsur-unsur hara esensial seperti
kadungan unsure hara makro (bahan organic, N, P, K, Ca, Mg) dan mineral
toxicity seperti Al, Fe, Zn,S, Mn menjadi sulit didapatkan karena ketika asam,
unsure-unsur tersebut menjadi / diikat dalam bentuk senyawa phospat.
Untuk mengatas masalah pH digunakan
terra buster. Sebenarnya masalah keasaman
dapat diselesaikan juga dengan pengapuran, tetapi biaya tinggi. Penggunaan terra buster dapat menghemat biaya, sekaligus dapat
melalui beberapa teknik misalnya diberikan di daun atau bagian tanaman yang
lain. Penambahan zat kapur bisa
dilakukan dengan memberikan phoelime
Masalah keasaman tanah juga dapat
didekati secara ekologis yaitu dengan penambahan jenis-jenis acid toleran. Jenis tersebut antara lain johar dan bungur.
2.
CEC/KTK
Standar
nilai CEC yang ideal adalah 16. Sehingga
jika bekas tambang akan direstorasi maka salah satu usaha yang dilakukan adalah
dengan memperbaiki KTK nya. Peningkatan
nilai KTK melalui penambahan bahan organis, menambah mineral tanah, dan
menggunakan geolite.
Jika
semua usaha di atas tidak memungkinkan, maka dapat mengggunakan terra buster
yang dapat menyebabkan tanah dengan CEC sangat rendah pun dapat mengikat pupuk
yang diberikan (tidak loss).
3.
EC (electric connectivity)
Dalam
kegiatan restorasi nilai EC terkait dengan tingkat salinitas. Untuk mengatasinya digunakan humic acid. Humid acid yang terbaik berasal dari jenis
batuan.
4.
Ketersediaan hara
Untuk
menumbuhkan tanaman dalam kegiatan restorasi keberadaan unsure hara esensial
sangat penting. Unsur hara esensial
adalah unsure hara yang sangat diperlukan oleh tanaman sehingga keberadaaan
harus terjamin, seimbang dan kontinu.
Unsur hara esensial tidak bisa digantikan dengan unsure yang lain. Unsur hara ensesial tersebut antara lain
adalah N yang terdapat dalam urea (NO3= dan NH4-), unsure P dalam
TSP dalam bentuk PO4+ dan HPO4-, K
dalam KCl (K+, Cl=), Ca+, Mg+, Ni+,Cu+,
Z+, dan S.
Keberadaan
unsure-unsur tersebut harus kontinu, dimana kekontinuan ini dapat dijaga oleh
keberadaan mikroba. Saat ini terdapat
mikroba yang diproduksi bukan di alam yaitu “terra remed” yang merupakan bahan
organic yang mengandung mikroba dan stimulannya. Namun jika tidak ada mikroba dapat juga
menggunakan bio enzim untuk mengubah unsure hara menjadi hara tersedia.
Nama : Masriah
NIM : J1C111211
NIM : J1C111211
PENGELOLAAN SUMBER DAYA HAYATI
Keanekaragaman alami
atau keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah semua kehidupan yang ada
di bumi ini tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme serta berbagai materi
genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka
hidup. Termasuk didalamnya kelimpahan dan keanekaragaman genetik relatif dari
organisme-organisme yang berasal dari semua habitat baik yang ada di darat,
laut maupun sistem-sistem perairan lainnya. Keanekaragaman hayati dibagi atas tiga
tingkatan yang berbeda, yaitu :
1.
Keanekaragaman Genetik
Keanekaragaman genetik
merujuk kepada berbagai macam informasi genetik yang terkandung di dalam setiap
makhluk hidup. Keanekaragaman genetik terjadi di dalam dan di antara
populasi-populasi spesies serta di antara spesies-spesies.
2.
Keanekaragaman Spesies
Keanekaragaman spesies
merujuk kepada keragaman spesies-spesies yang hidup.
3.
Keanekaragaman Ekosistem.
Keanekaragaman ekosistem
berkaitan dengan keragaman habitat, komunitas biotik, dan proses-proses
ekologis, serta keanekaragaman yang ada di dalam ekosistem-ekosistem dalam bentuk perbedaan-perbedaan habitat dan keragaman
proses-proses ekologis.
Perubahan secara
evolusi menghasilkan proses diversifikasi terus menerus di dalam makhluk hidup.
Keanekaragaman hayati meningkat ketika variasi genetik baru dihasilkan, spesies
baru berevolusi atau ketika satu ekosistem baru terbentuk; keanekaragaman
hayati akan berkurang dengan berkurangnya spesies, satu spesies punah atau satu
ekosistem hilang maupun rusak. Konsep ini menekankan sifat keterkaitan dunia
kehidupan dan proses-prosesnya.
Makhluk hidup dengan lingkungan
merupakan satu kesatuan fungsional yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem. Ekosistem
tersusun dari komponen biotik (berbagai makhluk hidup) dan komponen abiotik.
Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik komponen biotik dan abiotik dalam
ekosistem disebut ekologi. Dalam suatu ekosistem, hubungan antarkomponen
berlangsung sangat erat dan saling memengaruhi. Oleh karena itu gangguan atau
kerusakan pada salah satu komponen dapat menyebabkan kerusakan seluruh
ekosistem. Manusia merupakan komponen ekosistem yang dapat berpotensi sebagai
penyelamat dan perusak ekosistem. Tentu kamu dapat memberi contoh berbagai
aktivitas manusia yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan ekosistem dan
lingkungan hidup. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman
hayati. Namun kekayaan keanekaragaman hayati ini terancam rusak dan punah
akibat aktivitas alamiah maupun karena campur tangan manusia. Perubahan
lingkungan yang mengancam kelestarian keanekaragaman hayati akibat campur
tangan manusia misalnya penebangan hutan, penangkapan ikan di laut dengan
cara-cara terlarang, penambangan liar, dan pendirian berbagai industri berat.
Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya untuk melestarikan sumber daya alam
hayati di Indonesia.
1.
Konservasi Insitu
Konservasi insitu
meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan habitat
dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan
kawasan lindung seperti : cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
wisata alam, hutan lindung, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut. Dalam
implementasinya pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan
strategi perlindungan sumberdaya di luar kawasan lindung. Di bidang kehutanan
dan pertanian, pendekatan insitu juga digunakan untuk melindungi keanekaragaman
genetik tanaman di habitat aslinya serta penetapan spesies dilindungi tanpa
menspesifikasikan habitatnya.
2.
Konservasi Eksitu
Konservasi eksitu meliputi
metode dan alat untuk melindungi spesies tanaman, satwa liar dan organisme
mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang
umum dilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena di
sebabkan oleh :
1. Habitat
mengalami kerusakan akibat konversi2
2. Materi
tersebut dapat digunakan untuk penelitian
3. Percobaan,
pengembangan produk baru atau pendidikan lingkungan.
3.
Restorasi dan Rehabilitasi
Restorasi dan rehabilitasi
meliputi metode baik insitu maupun eksitu untuk membangun kembali spesies,
varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis.
Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau
semi alami di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi
spesies asli, sedangkan rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki
proses-proses ekosistem, misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS), tetapi tidak
diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan spesies asli.
4.
Pengelolaan Lansekap Terpadu
Pengelolaan lansekap terpadu
meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan, pertanian,
pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur perlindungan,
pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek
pengelolaan. Mengingat bahwa tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan
bentuk lansekap, baik di pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk
pengelolaan keanekaragaman hayati memiliki peluang besar untuk dapat diperoleh.
5.
Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan.
Formulasi kebijakan dan kelembagaan
meliputi metode yang membatasi penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi,
pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan lahan yang secara
potensial dapat merusak; pengaturan kepemilikan lahan yang mendukung
pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan
swasta dan masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati.
Sumber daya
alam hayati mempunyai nilai-nilai biologi, ekonomi, dan budaya yang saling
berkaitan. Sumber daya alam hayati diperlukan manusia untuk memenuhi
kebutuhannya seperti pangan, sandang, papan dan kebutuhan industri.
Beberapa.pemanfaatan.sumber.daya.alam.hayati dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu:
1. Sebagai bahan pangan, dimana tumbuh-tumbuhan, hewan dapat dimanfaatkan sebagai ….sumber.energi.tubuh
Beberapa.pemanfaatan.sumber.daya.alam.hayati dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu:
1. Sebagai bahan pangan, dimana tumbuh-tumbuhan, hewan dapat dimanfaatkan sebagai ….sumber.energi.tubuh
2. Sebagai bahan sandang antara lain kapas, kapuk, ulat
sutera, wol kulit binatang. Bahan ….tersebut.dipergunakan.sebagai.bahan.penutup.tubuh.
3. Sebagai bahan papan antara lain: kayu jati, kayu mahoni, kayu sengon, bamboo, kulit ….binatang.
3. Sebagai bahan papan antara lain: kayu jati, kayu mahoni, kayu sengon, bamboo, kulit ….binatang.
Pada umumnya kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati
dapat disebabkan oleh :
1. Laju peningkatan populasi manusia dan
konsumsi SDA yang tidak berkelanjutan
2. Penyempitan spektrum produk yang
diperdagangkan dalam bidang pertanian, kehutanan …
dan perikanan.
3. Sistem dan
kebijaksanaan ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan pada ….lingkungan dan
sumberdayanya
4. Ketidakadilan dalam
kepemilikan, pengelolaan dan penyaluran keuntungan dari …..penggunaan
dan pelestarian sumberdaya hayati
5. Kurangnya pengetahuan dan penerapan
6. Sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong
eksploitasi.
Apresiasi kita
tentang ancaman nyata terhadap keanekaragaman hayati dan pentingnya
proses-proses pencegahan, penghindaran, penghentian dan pemulihan kerusakan terus
meningkat. Dalam beberapa dekade terakhir ini, kerusakan ekosistem akibat
tekanan manusia berlangsung lebih cepat dan lebih meluas dibandingkan dengan
masa-masa sebelumnya didalam sejarah. Hal ini telah menjadikan ancaman serius
bagi layanan dasar ekosistem tang menjadi gantungan kita semua. Saling
ketergantungan antara manusia dan keanekaragaman hayati adalah penting bagi
semua orang karena pada akhirnya seluruh masyarakat bergantung kepada layanan
dan sumberdaya keanekaragaman hayati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar