Hutan merupakan salah
satu sumberdaya yang bersifat dapat dipulihkan (renewable atau funding
resource). Oleh karena itu pengelolaannya harus berdasarkan pada
prinsip-prinsip sustainable (sustainable – based principle) dari
semua manfaat yang bisa diperoleh dari hutan sebagai sumberdaya sekaligus
sebagai ekosistem. Berhubung di
alam ini antara ekosistem yang satu berinteraksi dengan ekosistem yang lain,
maka konteks pengelolaan hutan harus berdasarkan pada anggapan bahwa hutan
merupakan salah satu bagian integral dari ekosistem yang lebih besar dimana
hutan tersebut berada, yaitu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai satu
kesatuan bentang darat. Dalam rangka mencapai azas kelestarian (sustainable),
laju ekstraksi sumbedaya hutan tidak boleh melebihi laju daya pemulihan dari
ekosistem hutan tersebut. Dalam konteks penebangan kayu, besar volume kayu yang
ditebang tidak boleh melebihi riap volume tegakan hutan, sedangkan dalam
konteks pemanfaatan secara umum, pemanfaatan hutan sebagai ekosistem tidak
boleh melebihi daya dukung maksimum dari ekosistem tersebut. Secara ideal,
derajat pemanfaatan hutan harus diupayakan pada tingkat daya dukung optimalnya
atau paling tinggi berada pada kisaran nilai antara daya dukung optimal dengan
daya dukung maksimumnya. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan hutan tidak
menimbulkan derajat gangguan lingkungan yang melebihi daya asimilatif dari
ekosistem hutan tersebut.
Hutan dapat menghasilkan
berbagai macam barang (kayu dan hasil hutan bukan kayu) dan jasa lingkungan
(air, oksigen, keindahan alam, penyerap berbagai polutan, dan lain-lain),
sehingga hutan bersifat multimanfaat. Sehubungan dengan ini pengelolaan hutan
seyogyanya tidak boleh memaksimumkan perolehan dari satu macam manfaat saja
(misal kayu) dengan mengorbankan manfaat-manfaat lainnya, karena berbagai macam
manfaat hutan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Hutan dapat secara
berkelanjutan memberikan manfaatnya bila proses ekologis internal dalam
ekosistem hutan tersebut tidak terganggu atau terganggu tetapi tidak
menimbulkan stress ekologis yang bersifat irreversible. Oleh karenanya,
ekosistem hutan harus dibuat tahan terhadap gangguan dengan cara mempertahankan
keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan yang tetap tinggi. Dengan demikian,
pengelolaan hutan harus dilakukan secara tepat agar ragam dan derajat
pemanfaatan hutan, yang tidak lain adalah berupa “tindakan gangguan” terhadap
hutan, harus dilakukan sedemikian rupa agar tidak melampaui daya recovery dari
ekosistem hutan yang bersangkutan sebagai respons terhadap gangguan tersebut.
Tantangan untuk pengelolaan kehutanan yang berkelanjutan adalah mendefinisikan
atribut ekosistem hutan yang
secara ekologis dan sosial
sangat penting dan untuk memaksimalkan layanan ekosistem ini
dalam menghadapi perubahan. Manajemen berkelanjutan produksi kayu adalah salah satu dari
banyak kemungkinan tujuan untuk
pengelolaan ekosistem hutan dan
memberikan contoh yang baik tentang perlunya ekosistem
ekologi dalam manajemen. Beberapa masalah
yang ditangani oleh kehutanan yang berkelanjutan. Tingkat pasokan gizi, misalnya, harus mencukupi untuk mendukung pertumbuhan
yang cepat namun tidak begitu tinggi bahwa
mereka menyebabkan kehilangan unsur hara yang besar. Tingkat di mana berdiri dipanen harus seimbang dengan tingkat mereka dari regenerasi setelah penebangan. Spesies khas alam keanekaragaman hutan harus dijaga.
Ukuran dan susunan yang masuk harus memberikan mosaik
lanskap seminatural dengan sumber
benih diandalkan dan pola hutan
tepi yang memungkinkan penggunaan alami dan bergerak menjadi populasi hewan. Mengatasi
masalah ini membutuhkan perhatian dan
pengelolaan kontrol interaktif, ada terdapat gangguan , jenis tanaman fungsional, dan sumber daya tanah sangat penting. Di utara barat Amerika Serikat, misalnya, lama pertumbuhan Douglas cemara hutan mencapai usia lebih dari 500 tahun (Wills dan Stuart 1994). Panas dan angin yang menghampiri pohon individu tersebut mengalami gangguan, menciptakan mosaik pohon pada beberapa skala usia yang lama. Gangguan
yang masuk sekarang ini yang paling luasnya adalah di wilayah ini. Gangguan yang masuk
dari alam berbeda-beda. Rezim dengan mempengaruhi wilayah yang lebih luas, terjadi lebih sering, menghilangkan nitrogen terikat
dalam biomassa, dan meningkatkan
kemungkinan tanah erosi. Pada
beberapa situs, penanaman
nitrogen memperbaiki dalam
hubungan dengan regenerasi. Douglas cemara dapat mengkompensasi kerugian nitrogen selama penebangan (Binkley et al.
1992) dan bias juga mengurangi
erosi. Di sisi lain, pengelolaan ini bisa tidak diinginkan efek dalam situs kaya nitrogen, di
mana nitrogen tidak membatasi,
dan persaingan dari alder selama suksesi awal bisa mengurangi produktivitas bibit pohon dan
berpotensi menyebabkan kerugian
nutrisi yang lebih tinggi. Strategi untuk pengelolaan
hutan yang merangkul ekologi prinsip-prinsip akan mengenali variabilitas yang
melekat dalam ekosistem negara
faktor dan kontrol interaktif dan
akan memilih praktik manajemen
dalam arti luas konteks
lingkungan.
Ovington (1974)
melaporkan bahwa lebih kurang setengah dari seluruh luas hutan didunia (1.800
juta hektar) terletak dikawasan tropika. Dari seluruh kawasan hutan di daerah
tropika kira-kira seperempatnya (400 juta hektar) terletak diwilayah
Asia-Pasifik. Hampir seluruh hutan yang terdapat di kawasan Asia-Pasifik adalah
hutan alam, artinya, hutan yang tidak ditanam. Oleh karena itu, eksploitasi
hutan untuk keperluan perdagangan mula-mula terhalang oleh kesukaran menempuh
hutan tropika dan pengetahuan yang masih terbatas mengenai kekayaan hutan
tropika. Tetapi setelah pengetahuan serta kebutuhan kayu meningkat, produksi
kayu per hektar di kawasan Asia-Pasifik meningkat pula dengan sangat pesatnya.
Volume kayu yang ditebang dari kawasan ini semakin hari semakin besar, bahkan
sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan masa depan wilayah bekas hutannya.
Belum lagi ditambah oleh suatu kenyataan umum, bahwa kalau kita memerlukan
wilayah baru untuk pemukiman atau pertanian, wilayah hutan pulalah yang harus
menjadi korban. Terlebih-lebih dinegara yang padat penduduknya seperti di
negara kita ini, masa depan wilayah hutan itu memang jelas dapat diramalkan.
Hutan akan semakin habis, kecuali kalau ada usaha untuk melakukannya.
Maka dari itu,
pelestarian atau pengawetan hutan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Memperbaiki klasifikasi lahan hutan melalui
klasifikasi ulang beberapa daerah seperti hutan lindung, dengan tujuan untuk
menetapkan kawasan lindung yang mewakili semua jenis habitat di Indonesia dan
melindungi daerah unik yang kerusakannya relatif rendah, sedemikian rupa
sehingga regenerasi alami dapat berlangsung.
2.
Melakukan
pengelolaan hutan secara berkelanjutan merupakan proses mengelola lahan hutan
permanen untuk mencapai satu atau beberapa tujuan, yang dikaitkan dengan
produksi hasil dan jasa hutan secara terus menerus dengan mengurangi dampak
lingkungan fisik dan sosial yang tidak diinginkan.Pengelolaan hutan
berkelanjutan sebagai bentuk pengelolaan hutan yang memiliki sifat ‘hasil yang
lestari’, ditunjukkan oleh terjaminnya keberlangsungan fungsi produksi hutan,
fungsi ekologis hutan dan fungsi sosial-ekonomi-budaya hutan bagi masyarakat
lokal.
Keuntungan dari
pengelolaan hutan berkelanjutan adalah :
1. Hasil yang terus mengalir dan berkelanjutan dalam
bentuk kayu dan hasil serta hasil hutan lainnya.
2. Mempertahankan
keanekaragaman hayati yang tinggi dalam konteks perencanaan tata guna lahan
terpadu yan meliputi jaringan kawasan lindung dan kawasan konservasi.
3. Mempertahankan
ekosistem hutan yang stabil
Reboisasi bertujuan
untuk menghutankan kembali kawasan hutan kritis di wilayah daerah aliran sungai
(DAS) yang dilaksanakan bersama masyarakat secara partisipatif.Kegiatan
utamanya adalah penanaman kawasan hutan dengan tanaman hutan dan tanaman
kehidupan yang bermanfaat yang dilaksanakan secara partisipatif oleh masyarakat
setempat. Penanaman ini bertujuan untuk meningkatkan tingkat penutupan lahan
yang optimal sekaligus memberi manfaat bagi masyarakat setempat sehingga
tercipta keharmonisan antara hutan dan masyarakat. Dengan reboisasi dan
penghijauan lahan, laju evapotranspirasi dan air simpanan meningkat. Reboisasi
dan penghijuan yang berhasil akan menurunkan aliran air permukaan tetapi
sekaligus meningkatkan air simpanan dalam tanah. Namun kenyataan yang ada
rebosisasi dan penghijauan seringkali tidak hanya menurunkan aliran air tetapi
juga mengurangi air simpanan, karena adanya evapotranspirasi dan intersepsi
oleh tajuk hutan. Apabila reboisasi dan penghijauan yang hanya menanam pohon
yang tinggi tanpa memperhatikan adanya tumbuhan bawah dan serasah justru akan
menaikkan erosi. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penghijauan dan reboisasi
sebaiknya memperhatikan pohon yang dipilih mempunyai ujung penetes yang sempit dan ada tumbuhan bawah dan serasah, tumbuhan bawah dapat
berupa rumput.
Penetapan lahan kritis
ini mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah
mengalami kerusakan sehingga kehilangan atua berkurang fungsinya sampai pada
batas toleransi. Sasaran rehabilitasi adalah lahan-lahan kritis di kawasan
hutan. Rehabilitasi lahan adalah usaha memperbaiki ,memulihkan kembali
dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal.
Baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur
perlindungan alam dan lingkungannya. Konservasi lahan adalah pengelolaan lahan
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman
dan nilainya.
Diposting
oleh : Rezky Rahmayanti / J1C111043
Diedit
oleh AK tangggal 4 November 2012